Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) menyebutkan sekitar 513 ribu hektare kebun plasma kelapa sawit petani eks Perusahaan Inti Rakyat Perkebunan (PIR-BUN) dan PIR-Transmigrasi memerlukan program peremajaan karena sudah tua dan tidak produktif lagi.
“Berdasarkan data yang ada saat ini, ratusan ribu hektare kebun plasma eks PIR-Bun dan PIR-Trans ini tersebar pada 15 provinsi di Indonesia,” kata Ketua Gapki Eddy Martono dalam keterangan yang diterima di Banjarmasin, Kamis.
Ia menyebutkan kebun yang ada di 15 provinsi itu sudah waktunya diremajakan, bahkan kebun eks PIR tersebut sudah ada perusahaan intinya yang sebagian tergabung sebagai anggota Gapki.
“Dan sudah ada juga petani dan kebunnya yang seharusnya sudah clean and clear memenuhi persyaratan program PSR,” ujarnya.
Eddy menjelaskan meskipun sudah memenuhi persyaratan untuk dilakukan peremajaan kelapa sawit, namun masih banyak ditemui kendala, antara lain adanya lahan petani mitra berada di kawasan hutan. Padahal kebun plasma PIR sudah mempunyai sertifikat hak milik (SHM) dan pernah juga menjadi agunan bank saat akad kredit pembangunan kebun.
Kemudian, petani kebun sawit masih kesulitan mendapatkan surat keterangan atau rekomendasi bahwa lahan yang diusulkan tidak berada di kawasan hutan dan hak guna usaha (HGU).
Selain itu, ada kelompok tani, koperasi, dan satuan kerja diperiksa oleh aparat penegak hukum. Lalu, ada alas hak tanah petani calon peserta program PSR uang diagunkan, SHM petani calon peserta PSR beda nama sehingga kesulitan untuk proses pengajuan dana pendamping.
Katanya, harga TBS cukup tinggi sementara kebun masih berproduksi sehingga beberapa di antara petani menolak program peremajaan.
Kendala lain, banyak pimpinan perusahaan yang khawatir menjadi saksi untuk diperiksa karena akan menandatangani surat pernyataan kebenaran dan kesesuaian data pengajuan.
Eddy berharap berbagai persoalan tersebut dapat segera diatasi pemerintah bersama para petani dan perusahaan agar percepatan realisasi program PSR dapat terlaksana.