Mendiang eks Menteri Koperasi di era Presiden Soeharto, Letjen TNI (Purn) Bustanil Arifin menerima gelar sebagai Bapak Peternak Sapi Perah Rakyat dan Koperasi Susu di Auditorium Kementerian Koperasi dan UKM, Jakarta, Kamis (10/10/2024).
Adapun pemberian penghormatan dan gelar ini untuk mengenang jasa Letjen TNI (Purn) Bustanil Arifin dalam membangun usaha peternakan sapi perah rakyat dan koperasi susu di Indonesia. Penyerahan penghormatan dilakukan Dewan Persusuan Nasional (DPN) kepada keluarga mendiang, yakni putra dan putri dari Bustanil Arifin.
Untuk diketahui, di masa pemerintahan Presiden Soeharto, Bustanil pernah menjabat sebagai Menteri Koperasi/Kepala Bulog pada Kabinet Pembangunan IV (19 Maret 1983 – 21 Maret 1988) dan Menteri Koperasi/Kepala Bulog Kabinet Pembangunan V (21 Maret 1988 – 17 Maret 1993).
Ketua Dewan Persusuan Nasional, Teguh Boediyana menyampaikan bahwa mungkin timbul pertanyaan di masyarakat, apakah gelar tersebut layak dipersembahkan kepada Letnan Jenderal Purnawirawan Bustanil Arifin?
Katanya, Dewan Persusuan Nasional dan berbagai sumber telah mencermati perjalanan peternakan sapi perah rakyat dan koperasi susu yang ada di dalam negeri. Di mana sejak zaman Belanda sampai dengan saat ini, dari pengamatan yang dilakukan telah diperoleh suatu indikasi di mana peternakan sapi perah rakyat, dan koperasi susu terjadi perkembangan yang signifikan di tahun 1978.
“Dapat dikatakan bahwa tahun 1978 sebagai tonggak kemajuan usaha peternakan sapi perah rakyat, dan koperasi susu di tanah air kita, yang bermula ketika Pak Bustanil Arifin diangkat oleh Presiden Soeharto sebagai Menteri Muda Urusan Koperasi dan tetap merangkap sebagai Kepala Bulog,” kata Teguh dalam acara penyerahan penghormatan tersebut.
Teguh menyampaikan, tonggak kemajuan usaha peternakan sapi perah rakyat dan koperasi susu di Indonesia bermula ketika Bustanil Arifin membaca artikel di Majalah TIME yang berjudul ‘Operation Flood in India’ yang isinya tentang sukses koperasi susu di India yang dipimpin oleh Dr. Kurien.
“Dengan bekal artikel tersebut, Pak Bus menugaskan Pak Muslimin Nasution yang saat itu menjabat sebagai Kabalitbang Bulog bersama dua orang lainnya, yakni saya (Teguh Boediyana) dan Pak Mardiyanto karyawan di Ditjen Koperasi untuk (pergi) ke India, untuk mempelajari koperasi susu di India dan untuk nantinya dikembangkan di Indonesia,” jelasnya.
Selanjutnya untuk menunjang program tersebut, diterbitkan Surat Keputusan tentang Pembentukan Tim Pengembangan Persusuan Nasional yang dipimpin oleh Muslimin Nasution dan beranggotakan beberapa orang dari instansi terkait dan non pemerintah.
“Ini adalah Surat Keputusan pertama yang diterbitkan oleh Menteri Muda Urusan Koperasi. Langkah kebijakan pertama dari Pak Bustanil di awal tahun 1978 itu dan menjadi dasar yang kuat perkembangan peternakan sapi perah dan koperasi susu di Indonesia adalah suatu keberanian politik yang luar biasa yang beliau ambil,” ucap Teguh.
“Beliau ‘memaksa’ Industri Pengolahan Susu yang ada saat itu untuk menyerap susu yang dihasilkan para peternak sapi perah rakyat dengan harga Rp150-Rp180 per liternya. Sebelumnya ada beberapa Industri Pengolahan Susu yang menyerap susu peternak dalam jumlah yang sangat kecil dan dengan harga Rp60 per liternya,” sambungnya.
Teguh menyebut kebijakan adanya kepastian pasar dan harga yang layak itu ternyata menjadi panacea, dan dengan sangat cepat telah mampu menggerakkan peternak sapi perah rakyat untuk bangkit. “Para peternak sapi perah rakyat segera membenahi usaha peternakannya. Sentra peternak sapi perah rakyat di Pujon, Nongkojajar, Lembang, Pengalengan dan jalur susu Semarang Boyolali mulai menggeliat,” lanjut dia.
Pada saat itu, ungkapnya, tercatat hanya ada 11 koperasi susu yang berdiri, namun dengan kondisi sebagiannya hidup segan mati tak mau. Kemudian pada Juli 1978, Bustanil Arifin membantu koperasi yang ada untuk melaksanakan Temu Karya di Puslatpenkop Jakarta, yang kini namanya sudah menjadi Smesco.
“Temu Karya yang dimotori oleh Daman Danuwijaya Ketua KPBS (Koperasi Peternakan Bandung Selatan) Pengalengan ini kemudian berhasil membentuk Badan Koordinasi Koperasi Susu Indonesia yang menjadi embrio Gabungan Koperasi Susu Indonesia ( GKSI),” kata Teguh.
Dia mengatakan, kebijakan untuk kepastian pasar susu segar hasil peternakan sapi perah rakyat dengan harga yang memadai ini selanjutnya disusul dengan kebijakan memberikan kredit murah dengan skim kredit 72/Kop dari BRI dan dijamin oleh Lembaga Jaminan Kredit Kopreradsi ( LJKK) yang didirikan oleh Ditjen Koperasi saat itu. Adapun LJKK ini sekarang telah bermetamorfosa, yang mana saat ini menjadi Lembaga Penjaminan Kredit Jamkrindo.
Kemudian, lanjutnya, pada tahun 1979 mulai diimpor sapi perah dari Australia untuk didistribusikan kepada para peternak dengan pola skim kredit tersebut. Tercatat antara tahun 1979 sampai dengan sekitar tahun 1986-an, diimpor sapi perah sekitar 80 ribu ekor dari Australia, New Zealand , dan sebagian kecil dari Amerika Serikat.
“Langkah berani dari Pak Bustanil Arifin terus menggelinding dan selanjutnya kebijakan dikukuhkan dengan adanya Surat Keputusan Bersama Menteri Perdagangan dan Koperasi, Menteri Perindustrian, dan Menteri Pertanian pada tahun 1983. Dalam SKB ini antara lain ditetapkan peraturan yang menetapkan ekualisasi di mana besaran impor susu oleh IPS (Industri Pengolahan Susu) dikaitkan dengan penyerapan susu segar melalui wadah koperasi/Koperasi Unit Desa. Waktu itu dikenal istilah Bukti Serap yang menjadi instrumen pada saat IPS yang akan melakukan impor susu dari luar negeri,” terang dia.
Lebih lanjut, hasil positif dalam pengembangan peternakan sapi perah dan wadah koperasi susu semakin diperkuat dengan payung hukum yang lebih tinggi levelnya, dan semakin kokoh. Di tahun 1985 untuk semakin menjamin perkembangan peternakan sapi perah dan persusuan, khususnya sapi perah rakyat dan koperasi susu, diterbitkan Inpres No. 2 tahun 1985 tentang Koordinasi Pembinaan dan Pengembangan Persusuan Nasional.
Dalam Instruksi Presiden (Inpres) tersebut secara jelas disampaikan, “Pengembangan persusuan ditujukan untuk meningkatkan dan memanfaatkan potensi persusuan dalam negeri, sehingga terjadi peningkatan produksi susu untuk memenuhi permintaan dalam negeri, mengurangi impor, sekaligus meningkatkan pendapatan, menciptakan lapangan kerja dan kesempatan berusaha sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan petani peternak,” bebernya.
“Dengan berbagai kebijakan yang sangat pro peternakan sapi perah rakyat dan koperasi yang diawali di tahun 1978 ini, primer koperasi susu dan KUD yang menangani persusuan pernah mencapai jumlah diatas 200 buah. Selain daripada itu di tahun 1995 produksi susu segar dalam negeri mampu memenuhi sekitar 50% kebutuhan nasional,” pungkasnya.