Pengampunan pajak atau tax amnesty yang terus berulang, memunculkan rasa ketidakadilan. Terutama bagi pembayar pajak yang sudah patuh melakukan kewajibannya selama ini.
Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute Prianto Budi Saptono kepada CNBC Indonesia, menjelaskan ketidakadilan tersebut muncul karena pengemplang pajak (tax evader) mendapatkan karpet merah untuk pengampunan.
Sementara itu, wajib pajak yang sudah patuh harus membayar pajak sesuai tarif normal. Kondisi itu tentu memunculkan antipati bagi Wajib Pajak patuh dengan mengatakan tidak perlu patuh bayar pajak karena nantinya juga akan ada tax amnesty jilid berikutnya.
“Pernyataan demikian sangat beralasan karena ada perlakuan tidak adil dari pemerintah ketika ada kebijakan TA,” ucap Prianto dikutip Jumat (22/11/2024)
Prianto juga mengingatkan, bila dilihat praktik di banyak negara lain, memang kebijakan tax amnesty itu berulang terjadi saat negara butuh uang, walaupun teoritis kebijakan tax amnestt seharusnya satu generasi satu kali.
“Akan tetapi, praktiknya berkata lain, logika sederhananya adalah ketika negara membutuhkan dana secara instan tanpa perlu penegakan hukum pajak, TA menjadi opsi paling rasional,” papar Priabto.
Hal senada juga disampaikan Analis Kebijakan Ekonomi Asosiasi Pengusaha Indonesia atau Apindo, Ajib Hamdani.
Ajib mengungatkan, saat tax amnesty jilid I bergulir sesuai dengan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak, negara mengumpulkan uang tebusan Rp 130 triliun, data deklarasi sebesar Rp 4.813,4 triliun dan repatriasi sebesar Rp 146 triliun.
Selanjutnya, pada 2022 saat pemerintah mengeluarkan kebijakan Program Pengungkapan Sukarela (PPS), yang berlaku pada 1 Januari sampai dengan 30 Juni 2022, sesuai dengan amanah dari Undang-undang nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi dan Peraturan Perpajakan (HPP), negara mengumpulkan dana dari setoran PPh buat negara sebesar Rp. 61,01 triliun dan harta bersih yang diungkap sebesar Rp. 594,82 triliun.
“Tax amnesty jilid II memang tidak sesukses jilid I, diantaranya karena pembatasan peserta dan juga tarif yang cenderung kurang menarik,” tuturnya.
Ajih pada kesempatan itu juga mengingatkan bahwa tax amnesty ini akan memberikan rasa ketidakadilan terhadap wajib pajak yang telah patuh. Karena masyarakat yang mengikuti program tax amnesty, berarti mengakui bahwa sebelumnya mereka tidak patuh dalam melakukan kewajiban perpajakan.
“Masyarakat akan cenderung meremehkan kebijakan-kebijakan umum tentang perpajakan karena secara rutin pemerintah mengeluarkan program tax amnesty. Kedua hal inilah yang membuat kebijakan tax amnesty ini adalah program yang kurang ideal,” pungkasnya.
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) meyakini usulan kebijakan pengampunan pajak atau tax amnesty dapat membantu tambahan penerimaan negara, sehingga program Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dapat berjalan.
“Negara memang lagi butuh cashflow,” ungkap Fauzi Amro, Wakil Ketua Komisi XI kepada wartawan, dikutip Jumat (22/11/2024)
Fauzi menyatakan, program pemerintahan baru membutuhkan dana yang besar. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tidak cukup mampu untuk membiayai program makan bergizi gratis, pembangunan infrastruktur hingga penyediaan rumah. Sementara itu defisit APBN sudah mendekati batas 3% PDB.
“Kalau kita melihat secara objektif bagaimana sukses Tax Amnesty I, Tax Amnesty II kan berhasil menggaet wajib pajak yang dari luar menggait wajib pajak yang dari dalam negeri. Kesadaran pajak orang tumbuh,” paparnya.
Dalam 10 tahun terakhir, program tax amnesty sudah dilaksanakan sebanyak dua kali. Dalam periode pengampunan, penerimaan negara alami peningkatan. Meski demikian, rasio pajak tidak ada perkembangan yang signifikan, yaitu sekitar 10%.
“Mudah mudahan dengan tax amnesty ini pendapatan negara juga akan ada, sehingga defisit kita turun dan program pak Prabowo bisa maksimal,” jelas Fauzi.