Penjabat (Pj) Gubernur DKI Jakarta Heru Budi Hartono berbincang dengan para ibu rumah tangga saat meninjau dan memantau intervensi percepatan penurunan stunting terintegrasi di RPTRA Intiland Teduh, Cilincing, Jakarta Utara, Jumat (15/3/2024). ANTARA/Siti Nurhaliza/aa.
Dinas Kesehatan DKI Jakarta terus aktif memberikan edukasi kepada pasangan baru menikah tentang pentingnya menjalani pola hidup bersih dan sehat.
Langkah ini dilakukan sebagai upaya untuk meningkatkan pemahaman tentang gizi seimbang, yang menjadi fondasi penting dalam membangun keluarga sehat dan mencetak generasi yang kuat di masa depan.
Edukasi ini tidak hanya berfokus pada kebutuhan dasar, tetapi juga mengajarkan bagaimana memilih asupan yang bergizi, mengatur pola makan, serta mencegah penyakit yang dapat mengganggu kualitas hidup keluarga baru.
Pemahaman tentang gizi menjadi salah satu fokus utama edukasi yang diberikan oleh Dinas Kesehatan DKI Jakarta.
Tujuannya adalah memastikan kelancaran proses persalinan ketika pasangan baru menikah kelak dikaruniai anak, sekaligus mendukung bayi yang lahir tumbuh optimal dan sehat, demi tercapainya generasi emas 2045.
Berdasarkan hasil Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023 angka prevalensi stunting (tengkes/gagal tumbuh dan berkembang) balita di DKI Jakarta sebanyak 17,6 persen, sedangkan mengacu kepada Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) Kementerian Kesehatan RI pada 2022, prevalensi stunting di Jakarta adalah 14,8 persen.
Angka ini masih di bawah ambang batas yang ditetapkan Organisasi Kesehatan Dunia atau World Health Organization (WHO) sebesar 20 persen pada 2025.
Tentunya hal ini merupakan prestasi yang menggembirakan bagi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk menciptakan generasi yang kuat dan cerdas.
Tinggal pekerjaan rumah untuk memperkecil angka stunting yang masih di atas 10 persen. Seiring dengan pertumbuhan jumlah penduduk di DKI Jakarta maka menyelesaikan persoalan stunting membutuhkan kerja keras agar angka tersebut bisa terus ditekan dan jangan sampai malah bertambah.
Salah satu yang di luar kendali untuk menciptakan generasi yang cerdas dan kuat itu adalah proses kelahiran. Terkadang pola hidup bersih dan sehat sudah dijalankan tetapi dalam persalinan ternyata tidak lancar seperti diharapkan.
Dalam sejumlah kasus, kerap bayi dilahirkan sebelum waktunya (prematur) yang tentunya membutuhkan penanganan sendiri agar bisa tumbuh kembang secara normal.
Persoalan kelahiran bayi prematur ini tidak hanya dialami Indonesia saja, tetapi juga terjadi di berbagai negara. Penanganannya juga beragam tergantung kepada teknologi di negara tersebut.
Meski demikian bayi yang dilahirkan prematur apabila mendapat perawatan yang tepat bisa tumbuh dan kembang seperti bayi normal pada umumnya.
Begitu seriusnya persoalan bayi lahir prematur ini hingga diperingati sebagai Hari Prematur Sedunia setiap tanggal 17 November. Peringatan ini bertujuan meningkatkan kesadaran masyarakat akan tantangan yang dihadapi oleh bayi prematur dan keluarganya.
Kembali pada edukasi untuk pasangan muda, penting untuk memahami langkah-langkah yang perlu dilakukan saat menanti kelahiran bayi, termasuk kesiapan menghadapi kemungkinan kelahiran prematur.
Penanganan tepat
Bayi prematur adalah bayi yang lahir sebelum usia kehamilan mencapai 37 minggu. Merujuk data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), pada tahun 2020 terdapat 13,4 juta bayi yang lahir prematur di seluruh dunia, atau sekitar lebih dari 1 dari setiap 10 bayi yang lahir.
WHO juga mencatat bahwa sekitar 900.000 anak meninggal pada tahun 2019 karena komplikasi akibat kelahiran prematur. Sementara itu, berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018, prevalensi kelahiran prematur di Indonesia mencapai 29,5 per 1.000 kelahiran hidup.